Peristiwa Pemberontakan DI/TII
Halo sobat bertemu lagi dengan saya di nasionalstudent.co.id .kali ini saya akan menambah pengetahuan dengan menpublikasikan tentang Peristiwa Pemberontakan DI/TII ya udah langsung aja ke TKP
Pemberontakan DI/TII pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Gerakan DI/TII sebenarnya sudah lama ada, yaitu sejak lahirnya Komite Pembela Kebenaran PSII sebagai akibat dari perpecahan yang terdapat dalam Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Perpecahan itu membuat Kartosuwiryo mendirikan perguruan Suffah yang ada pada masa pendudukan Jepang dikembangkan menjadi pusat latihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam, terutama Hizbullah dan Sabilillah. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) adalah suatu gerakan yang menginginkan berdirinya sebuah negara Islam Indonesia. Pemberontakan DI/TII bermula di Jawa Barat, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Pemberontakan DI/TII merupakan suatu usaha untuk mendirikan negara islam di Indonesia. Sejak perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 8 Desember 1947, pasukan TNI harus meninggalkan wilayah Jawa Barat dan hijrah ke Jawa Tengah.
Pasukan Hisbullah dan Sabilillah yang dipimpin oleh S.M Kartosuwiryo tidak iku dalam hijrah tersebut. Kemudian Kartosuwiryo membentuk Gerakan Darul Islam dan seluruh pasukannya dijadikan Tentara Islam Indonesia. Markas Besar Kartosuwiryo didirikan di Gunung Cepu. Pemberontakan DI/TII ini bertujuan untuk mendirikan negara sendiri yang terpisah dari Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Dengan kembalinya pasukan TNI (Divisi Siliwangi) dari Yogyakarta merupakan ancaman bagi kelangsungan da tercapainya cita-cita Kartosuwiryo. Oleh karena itu, pasukan Siliwangi yang kembali dari Hijrah harus dihancurkan agar tidak masuk ke wilayah Jawa Barat. Kemudian, terjadilah bentrokan antara pasukan DI/TII Kartosuwiryo dan pasukan TNI yang baru pulang dari hijrah. Apa yang dilakukan Kartosuwiryo tersebut merupakan penyimpangan dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan merupakan pemberontakan terhadap pemerintah negara RI yang sah.
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat |
Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu’dz Abdurachman (Kyai Somalangu). Amir Fatah ialah seorang komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarji, dan Mojokerto. Setelah mendapat pengikut, Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII pada tanggal 23 Agustus 1949 di Desa Pengarasan, Tegal. Amir Fatah Kemudian diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia.
Selain itu, di Kebumen muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu. Kedua gerakan ini bergabung dengan DI/TII Jawa Barat, pimpinan Kartosiwiryo. Pemberontakan di Jawa Tengah ini menjadi semakin kuat setelah Batalion 624 pada Desember 1951 membelot dan menggabungkan diri dengan DI/TII di daerah Kudus dan Magelang.
Untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan tersebut, Pemerintahan RI membentuk pasukan khusus yang disebut dengan Banteng Raiders. Pasukan Raiders ini melakukan serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan Banteng Negara (OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian diganti oleh Letnan Kolonel M. Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh Letnan Kolonel A. Yani. Berkas operasi tersebut, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dapat ditumpas pada 1954. Adapun yang mengatasi pembelotan Batalion 624, pemerintah melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan - Kahar Muzakar
Kahar Muzakar |
Kahar Muzakar menghimpun dan memimpin bekas pejuang kemerdekaan serta laskar-laskar dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Semula, Kahar Muzakar adalah Komandan Tentara Republik Indonesia (TRI) Persiapan Resimen Hasanuddin yang bermarkas di Yogyakarta. Ia pulalah, bersama Andi Matalata dan M. Saleh Lahade yang merintis pembentukan TRI di Sulawesi.
Pada tanggal 30 April 1950 ia mengirim surat kepada pemerintah dan pimpinan APRIS yang berisi tuntutan agar semua anggota KGSS dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin.
Tentu, tuntutan ini ditolak oleh pemerintah karena demi profesionalisme angkatan perang, pemerintah menerapkan seleksi yang ketat. Hanya yang lulus penyaringan yang bisa diterima sebagai anggota APRIS.
Ada dua solusi yang ditawarkan pemerintah, yaitu menyalurkan eks gerilyawan itu ke dalam Korps Cadangan Nasional dan memberi pangkat acting Letnan Kolonel kepada Kahar Muzakar.
Namun, saat akan dilantik tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar bersama anak buahnya melarikan diri ke hutan dengan membawa peralatan dan senjata yang baru didapatkannya. Pada tahun 1952 ia menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari NII pimpinan Kartosuwirjo.
Penguasaan medan dan dukungan persenjataan membuat gerakan Kahar Muzakar sulit dijinakkan. Akhirnya, setelah lebih kurang 14 tahun bergerilya Kahar Muzakar berhasil ditangkap pada bulan Februari 1965 oleh pasukan Divisi Siliwangi. Gerakan Kahar Muzakar praktis bisa dipadamkan setelah pembantu utamanya Gerungan juga berhasil ditangkap pada bulan Juli 1965.
Pemberontakan DI/TII Aceh - Daud Beureueh
Di Aceh muncul pula gerakan Mohammad Daud (karena ia lahir tanggal 17 September 1899 di Dusun Beureueh, Aceh, Pidie, ia dikenal Daud Beureueh). Pada tanggal 21 September 1953 ia memproklamasikan bahwa Aceh adalah bagian dari Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Latar belakang gerakan ini adalah akumulasi kekecewaan kepada pemerintah pusat. Dahulu, berdasar Ketetapan Pemerintah Darurat RI No. 8/Des/WKPH tanggal 17 Desember 1949 yang ditandatangani Sjafruddin Prawiranegara (Presiden PDRI), Aceh merupakan provinsi dengan gubernur militernya Daud Beureueh.
Namun, pada tanggal 8 Agustus 1950 Dewan Menteri RIS memutuskan bahwa wilayah Indonesia terbagi menjadi sepuluh daerah provinsi. Provinsi Aceh dilikuidasi menjadi satu kesatuan di dalam Provinsi Sumatra Utara.
Rakyat Aceh yang mempunyai andil besar saat-saat awal berdirinya Republik Indonesia pun melawan. Apalagi janji penerapan syariat Islam yang pernah diucapkan Presiden Ir. Soekarno saat berkunjung ke Aceh tanggal 16 Juni 1949, tidak pernah ditepati.
Dari situlah, kita merunut munculnya pergolakan di Aceh, bahkan hingga kini. Oleh karena itu, pemerintah praktis tidak bisa menyelesaikan pergolakan di Aceh secara tuntas.
Daud Beureueh sendiri akhirnya mau turun gunung dan mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh tanggal 17–28 Desember 1962. Pergolakan mulai surut setelah Daud Beureueh kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Kunjungi terus nasionalstudent.co.id karena masih banyak hal menarik yang belum di post,
Terima kasih & next post (Coming soon)
Kunjungi terus nasionalstudent.co.id karena masih banyak hal menarik yang belum di post,
Terima kasih & next post (Coming soon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar